Nasehat Ilahi

Minggu, 18 Oktober 2009

Merindukan Ka'ab (merindukan pribadi jujur)


Kisah itu terjadi pada bulan Rajab, tahun kesembilan sesudah hijrah. Musim panas yang terik dan kering melanda Madinah. Suhu gurun saat itu mencapai empat puluh derajat celsius lebih. Hampir setengah matang. Namun, seperti halnya musim panas yang lain, di saat-saat seperti itulah biasanya buah kurma masak. Dan Madinah sebagai kota perkebunan sedang menikmati limpahan manisnya panen kurma.

Tak ada hal yang paling menyenangkan bagi penduduk Madinah dalam suasana seperti itu kecuali berdiam diri di kota, sambil memetik buah kurma yang masak di bawah rimbunnya dedaunan kebun. Apalagi jika ditemani oleh sekendi air dingin yang sudah diembunkan pada malam sebelumnya. Tentu tak akan ada yang mau untuk menolaknya. Inilah saat dimana tak ada seorangpun yang mau untuk pergi melakukan perjalanan jauh.

Namun, di saat seperti itulah, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam mengumandangkan panggilan jihad. Ghozwah Tabuk fi saa'atil 'usrah. "Perang Tabuk dalam waktu yang sulit", demikianlah para ahli sejarah menamakan panggilan jihad itu. Dinamakan sebagai waktu yang sulit karena sekurang-kurangnya disebabkan oleh tiga hal.

Yang pertama, saat itu cuaca sangat panas dan bertepatan dengan musim panen kurma. Penduduk Madinah yang sebagian besar adalah petani tentu akan lebih memilih untuk mengurusi pertaniannya terlebih dahulu.

Kedua, medan peperangan yang dituju sangat jauh. Berada di Tabuk, yang merupakan salah satu kota dekat Palestina. Untuk perjalanan perginya saja akan menghabiskan waktu satu bulan penuh. Belum ditambah waktu perjalanan pulang dan masa berperang. Sehingga diperkirakan peperangan ini akan memakan waktu dua bulan lebih.

Ketiga, musuh yang akan dihadapi adalah salah satu negara super power saat itu. Yaitu Romawi, yang terkenal memiliki prajurit dengan kekuatan prima dan persenjataan lengkap. Jumlah musuh yang akan dihadapipun luar biasa besar. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam mendapat berita bahwa telah ada 40.000 orang prajurit Romawi yang berkumpul di kota Balqa' dan siap menyerang Madinah.

Disebabkan tiga alasan itulah, maka banyak kaum munafiqin yang enggan untuk berangkat mengikuti ghozwah Tabuk. Hanya sahabat-sahabat Nabi shallaLlahu alayhi wa sallam yang berhati ikhlash sajalah yang bersedia untuk menempuh perjalanan jauh dan sulit dalam ghozwah ini. Namun, ternyata ada tiga orang sahabat Nabi yang terkenal lurus keimanannya tetapi tidak ikut ghozwah Tabuk. Mereka bertiga terlalu sibuk mengurus kebun-kebunnya hingga tidak menyadari jika rombongan pasukan Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam sudah berangkat meninggalkan Madinah.

Diantara tiga orang sahabat Nabi yang tertinggal itu, tersebutlah nama Ka'ab ibn Malik radhiyyaLlahu 'anhu. Seorang sahabat yang selalu mengikuti hampir seluruh ghozwah (perang) bersama Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam. Seorang sahabat yang dikenal sebagai seorang yang berhati tulus dan beriman lurus. Beliau bukanlah termasuk kaum munafiqin yang saat itu mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad. Beliau pula bukan termasuk sahabat yang sudah tua usia dan tidak memiliki perbekalan perang yang cukup, yang memang diizinkan oleh Rasulullah untuk tidak ikut berjihad. Beliau radhiyaLlahu 'anhu mengetahui panggilan jihad dari Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam dan sudah berniat untuk berangkat. Namun karena taswiif (menunda-nunda) dalam berangkat jihad, akhirnya beliau tertinggal dari rombongan pasukan Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam.

Sekembalinya Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam dari ghozwah Tabuk, berbondong-bondonglah kaum munafiqin menemui Rasulullah sambil mengemukakan alasan-alasan (yang sesungguhnya dibuat-buat) ketidak ikutan mereka berperang. Ka'ab ibn Malik pun di anjurkan oleh kaum munafiqin untuk juga menemui Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam dan mengemukakan alasan ketidak hadirannya di ghozwah ini.

Namun, berbeda dengan kaum munafiqin yang berdusta di hadapan Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam, Ka'ab ibn Malik malah mengakui kesalahannya dan tidak mau mengarang-ngarang alasan apapun. Padahal, sebagaimana diakuinya sendiri, beliau radhiyyaLlahu adalah u'thiya jadalan (seorang yang dikaruniai kemampuan untuk berargumentasi). Karena kejujurannya, Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam lantas bersabda kepada Ka'ab ibn Malik, "amma hadza faqod shodaqo, faqum hatta yaqdhiyaLlahu fiik (adapun orang ini, maka ia telah berkata jujur, maka tunggulah hingga Allah ta'ala menjatuhkan putusan untukmu)."

Maka Ka'ab Ibn Malik pun dihukum "hajr (isolasi/dijauhi)" oleh Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam. Hajr adalah hukuman dengan cara tidak mengajak berbicara dan bergaul kepada Ka'ab selama lima puluh hari. Bahkan, bukan hanya Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam saja yang meng-hajr Ka'ab Ibn Malik namun juga seluruh kaum muslimin di Madinah, termasuk pula istri Ka'ab ibn Malik.

Demikianlah, saat Ka'ab ibn Malik menjalani hukuman hajr dari Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam, ia merasa dunia sangat sempit dan jiwanya sesak. Hingga Allah subhanahu wa ta'ala menerima taubat Ka'ab Ibn Malik dan dua orang temannya radhiyaLlahu 'anhum sebagaimana tertera dalam surat at-Taubah ayat 117-120. Adapun kisah lengkap mengenai Ka'ab ibn Malik ini bisa kita baca dalam Kitab Shohih Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Banyak hikmah sebenarnya yang terserak dari kisah "hajr" Ka'ab Ibn Malik radhiyaLlahu 'anhu. Salah satu hikmah berharga yang dapat kita ambil dari kisah ini, adalah keteguhan Ka'ab Ibn Malik untuk tetap berkata jujur. Padahal bila ia tidak berkata jujur, ia tidak akan dihukum hajr oleh Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam. Padahal pula saat itu, ia adalah seorang yang mampu dan memiliki kesempatan untuk berdusta. Namun, ia tidak memilih itu. Ia memilih untuk tetap berkata jujur, meskipun dengan itu ia harus dihukum.

Ka'ab ibn Malik tentunya menyadari betul firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat al-Ahzab ayat 70 : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan berkatalah perkataan yang benar". Ayat ini menjelaskan bahwa diantara ciri keimanan dan ketaqwaan seseorang adalah keteguhannya untuk berkata jujur.

Seorang yang beriman tidak akan berani untuk berdusta, karena ia menyakini bahwa setiap ucapannya pasti akan dicatat oleh para malaikat yang senantiasa menyertai.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat Qaf ayat 16 – 18 : "Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir."

Karena itulah bagi seorang yang beriman seperti Ka'ab Ibn Malik tidak ada pilihan lain kecuali berkata jujur. Meskipun kejujuran itu pahit baginya. Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam bersabda, "Katakanlah yang benar, walaupun kebenaran itu pahit." (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shohih Ibnu Hibban).

Bahkan Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam saat ditanya jihad apakah yang paling dicintai disisi Allah Ta'ala, beliau menjawab, "Kalimat kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim." (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bayhaqy dalam kitab Sunan al-Kubra). Imam jair (pemimpin lalim/bengis) atau shulthon jair (penguasa lalim, dalam hadits riwayat Imam at-Thabrany) adalah penguasa yang akan menyiksa kita, bahkan memenggal kepala kita, jika kita mengucapkan kebenaran.

Jika kepada penguasa yang lalim saja Rasulullah shallaLlahu alayhi wa sallam masih menyuruh kita untuk berkata jujur, maka mengapa kita tidak berani untuk berkata jujur pada hal-hal yang tidak membahayakan nyawa kita? Mengapa demikian banyak di antara kita yang berani berdusta hanya untuk menutupi harga dirinya? Atau, berdusta hanya untuk menyelamatkan kedudukan dan hartanya?

Kasus para jaksa yang tidak mau mengaku telah disuap (risywah) oleh makelar kasus BLBI, yang masih hangat diberitakan saat ini, menjadi sekedar contoh betapa dusta sudah menjadi keseharian sebagian dari kita. Belum lagi, kedustaan yang setiap hari dijajakan oleh para politikus untuk menutupi kegagalan kepemimpinan mereka.

Sungguh, di hari-hari terakhir ini, kita makin merindukan sosok seperti Ka'ab Ibn Malik radhiyyallahu 'anhu. Sosok yang rela dihukum daripada harus berdusta. Ataupun sosok seperti Imam Malik ibn Anas rahimahuLlahu yang tetap teguh berkata jujur tentang kebenaran al-Qur'an meskipun penguasa berfaham Mu'tazilah terus menyiksanya.

Semoga tulisan ini dapat menggugah kita semua untuk tetap mempertahankan dan membudayakan kejujuran. Sebagaimana do'a kita setiap hari, ihdina shirothol mustaqim, shirotol ladzina an'amta 'alayhim ... tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang kau beri nikmat ... . Do'a yang telah dijawab oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat an-Nisaa ayat 68 – 69 : Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Semoga ...

Wallahu a'lam bis showwab

Renungan setelah sang makelar kasus menitikkan air mata, 14/07/08
Muhammad Setiawan

Tidak ada komentar: